SpekPintar – Gelombang demonstrasi di berbagai kota memunculkan sebuah pernyataan yang cukup bikin dahi berkerut: “ikut rusuh bukan perusuh.” Sontak, ucapan yang mencoba membedakan antara dalang kerusuhan dengan mereka yang sekadar “nimbrung” ini langsung memanaskan diskusi di tengah masyarakat. Pertanyaannya, apakah orang yang sekadar ikut-ikutan dalam kericuhan otomatis lepas dari tanggung jawab? Mari kita bedah berbagai sudut pandang soal isu ini, mulai dari suara aktivis, pandangan pensiunan TNI, sampai reaksi netizen, plus sedikit sorotan soal tindakan aparat yang kadang bikin miris.
Dari Mana Datangnya Kontroversi Ini?
Semua bermula dari sebuah diskusi publik yang mempertemukan aktivis dan seorang purnawirawan TNI. Dalam perdebatan itu, sang purnawirawan berpendapat bahwa ada perbedaan mendasar antara “ikut rusuh” dan menjadi seorang “perusuh.” Alasannya? Seseorang yang terlibat dalam kericuhan belum tentu punya niat atau motif melakukan tindakan anarkis. Bisa jadi, mereka cuma terbawa suasana atau ikut arus massa. Nah, pernyataan inilah yang langsung memicu reaksi keras, terutama dari kalangan aktivis yang merasa ini seperti upaya membenarkan kekerasan saat demo.
Adu Argumen: Aktivis vs. Purnawirawan
Perbedaan pendapat antara aktivis dan purnawirawan TNI ini jadi fokus utama perdebatan soal tanggung jawab individu dalam aksi demonstrasi. Masing-masing punya argumen kuat, yang didasarkan pada pemahaman berbeda soal apa itu “perusuh” dan apa implikasinya.
Ferry Irwandi: Logika yang Gak Masuk Akal
Aktivis Ferry Irwandi, misalnya, langsung mengecam logika “ikut rusuh bukan perusuh.” Katanya, pernyataan ini absurd dan bisa bikin pelaku kekerasan dalam demo jadi kebal hukum. Menurutnya, siapa pun yang terlibat dalam tindakan anarkis, apapun alasannya, harus bertanggung jawab. “Kalau kita membenarkan orang yang ikut rusuh dengan alasan ‘cuma ikut-ikutan’, ya sama saja kita membuka pintu bagi kekerasan tanpa konsekuensi,” tegas Ferry dalam sebuah diskusi. Dia juga mempertanyakan, bagaimana caranya polisi membedakan antara perusuh dan peserta aksi yang “cuma ikut rusuh” di lapangan? Menurutnya, perbedaan ini sangat subjektif dan rawan disalahgunakan.
Soleman B. Ponto Membela: “Ikut” Beda dengan “Perusuh”
Sebaliknya, Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, yang pernah jadi Kepala Badan Intelijen Strategis, berpendapat bahwa “ikut” itu tidak sama dengan “perusuh.” Ia menekankan bahwa orang yang terlibat dalam kerusuhan belum tentu punya niat jahat atau tujuan tertentu. “Mereka mungkin cuma terbawa emosi massa atau melakukan tindakan spontan tanpa sadar konsekuensinya,” ujarnya. Menurutnya, penting untuk membedakan antara mereka yang merencanakan dan mengorganisir kerusuhan dengan mereka yang sekadar ikut-ikutan. Soleman berpendapat bahwa penegakan hukum harus fokus pada pelaku utama kerusuhan, sementara mereka yang “cuma ikut rusuh” perlu diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. “Tentu, mereka tetap harus bertanggung jawab atas perbuatannya, tapi hukumannya harus sesuai dan mempertimbangkan situasinya,” imbuhnya.
Reaksi Netizen: Kritik Pedas!
Perdebatan ini tentu saja langsung membanjiri media sosial. Mayoritas netizen mengecam keras pernyataan “ikut rusuh bukan perusuh.” Mereka menganggap logika ini ngaco dan berpotensi melegitimasi kekerasan dalam demonstrasi. “Orang yang ikut rusuh ya namanya perusuh. Gak ada alasan ‘cuma ikut-ikutan’,” tulis seorang netizen dengan nada kesal. Netizen lain menambahkan, “Kalau ikut rusuh bukan perusuh, berarti selama ini polisi salah tangkap dong? Kasihan rakyat yang kena gas air mata.” Kritik dan kecaman ini menunjukkan bahwa banyak orang tidak setuju dengan upaya membenarkan kekerasan dalam demonstrasi. Mereka merasa setiap individu harus bertanggung jawab atas perbuatannya, apapun alasannya.
Aparat Represif, Salah Sasaran?
Di tengah perdebatan soal tanggung jawab individu, tindakan represif aparat kepolisian juga ikut jadi sorotan. Beberapa waktu lalu, polisi dituduh bertindak represif saat membubarkan demo di depan Universitas Islam Bandung (Unisba). Dalam kejadian itu, polisi menembakkan gas air mata ke arah mahasiswa, yang menyebabkan beberapa orang terluka. Meski polisi membantah dan mengklaim bahwa gas air mata terbawa angin, insiden ini tetap memicu kemarahan publik dan menimbulkan pertanyaan soal proporsionalitas penggunaan kekuatan oleh aparat. Tuduhan salah sasaran juga seringkali dilayangkan kepada polisi saat menangani demonstrasi. Beberapa pihak menuding aparat terlalu mudah menangkap dan menahan orang yang “cuma ikut rusuh,” sementara pelaku utama kerusuhan malah lolos.
Kesimpulan: Rumitnya Tanggung Jawab dalam Aksi Demo
Perdebatan soal “ikut rusuh bukan perusuh” menggambarkan betapa rumitnya isu tanggung jawab individu dalam aksi demonstrasi. Tidak ada jawaban tunggal yang bisa memuaskan semua pihak. Di satu sisi, penting untuk memastikan bahwa setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya, apapun alasannya. Di sisi lain, penegakan hukum harus dilakukan secara proporsional dan mempertimbangkan konteks situasinya.
Ke depan, dialog yang terbuka dan jujur antara berbagai pihak perlu terus dilakukan untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan. Selain itu, aparat kepolisian perlu meningkatkan profesionalisme dan menghindari tindakan represif yang justru memperkeruh suasana. Dengan begitu, diharapkan aksi demonstrasi bisa dilakukan secara damai dan aspirasi masyarakat bisa didengar tanpa harus ada kerusuhan dan kekerasan. Kasus-kasus dugaan salah tangkap dan penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat juga harus diinvestigasi secara transparan dan akuntabel, supaya kejadian serupa tidak terulang di masa depan. ***